Monday 11 June 2012

Materiality, physicality, thingness, object, kebendaan (2).

Bisakah seseorang disalahkan, jika mengangap bahwa praktek seni rupa kontemporer cenderung salah kaprah tentang ‘konsep’? Kita sering menyaksikan bahwa keinginan untuk bersikap kritis terhadap berkarya kerap mendorong seorang seniman untuk memberi penekanan pada ‘konsep’. Di satu sisi, ini (setidaknya) menunjukkan bahwa kita sudah ‘melek’ terhadap tradisi Conceptual Art. Tapi sayangnya ‘kemelekan’ ini hanya diadopsi secara tanggung. Sebagai akibat, ‘konsep’ sering dianggap sebagai penjelasan belaka atas sebuah karya. Padahal, konsep seharusnya dimengerti sebagai suatu situs pergulatan akan berbagai gagasan dan ideologi yang kompleks, yang menuntut penggalian lebih dalam. Ditengah kesalah-pahaman ini, karya, dalam bentuk fisiknya, menjadi kalah penting dari apa yang disebut sebagai ‘pesan’, ‘isi’, ‘cerita’, atau muatan-muatan abstrak lainnya. Terkait dengan ini, konotasi negatif kemudian melekat pada ‘gaya’ (style), yang divonis sebagai embel-embel dekoratif yang sifatnya dangkal.

Tentu saja, bobot teoritis sebuah karya harus tetap dipertimbangkan; jika tidak, yang akan dihasilkan hanyalah permukaan dan pencitraan yang semu. Namun, salah besar jika kita hanya menilai sebuah karya berdasarkan ‘pesan’ (atau sebagainya) yang diasumsikan dimuat oleh karya tersebut. Bukankah pengertian modern mengenai nalar, rasio, dan kemampuan kognitif sebagai sumber makna yang paling utama sudah runtuh? Dan sudah sepantasnya runtuh, karena melupakan bahwa manusia memang bukan makhluk transenden, bukan hanya jiwa, tapi sepenuhnya bertubuh. Penceraian antara akal dan tubuh ini disebut oleh neurolog Antonio Damasio sebagai “Error Descartes”, dan ternyata dampak kekeliruan tersebut mempengaruhi pemahaman kita akan seni.

Pengalaman yang dirasakan ketika seseorang berhadapan dengan sebuah karya – melalui tubuhnya – adalah hubungan/ relasi paling mendasar antara orang dan karya tersebut, dan hanya melalui hubungan inilah ‘pesan’ atau ‘kritik’ sosio-kultural dicerna. Disini, tubuh adalah sebuah peristiwa (body-as-event): bukan hanya sebatas alat yang menerima berbagai stimulus di dunia secara pasif, tapi suatu proses yang secara aktif menguyah dan menelan ‘gaya’ karya tersebut. Ini yang dikatakan Merleau-Ponty ketika ia membahas karya Cézanne; untuk Merleau-Ponty, apa yang berharga atau berarti dari karya-karya Cézanne tidak terletak pada pemikiran di balik karya itu, tapi pada sapuan kuas, warna, komposisi, elemen-elemen konkritnya (“Cézanne’s Doubt”, hal. 77).

No comments:

Post a Comment