Thursday 24 May 2012

An Erotics of Art


"... we need an erotics of art" - Susan Sontag (1964).

Kemewahan yang dimiliki oleh seorang pengajar adalah peluang untuk kembali (dan terus) belajar. Kadang memang tentang hal yang sama sekali baru, atau dalam kasus saya saat ini, tentang hal yang harus dipelajari ulang. Untuk persiapan materi perkuliahan, saya sedang membaca essay lama Susan Sontag, “Against Interpretation”, yang merupakan essay seminal untuk studi seni. Sudah lewat 10 tahun ketika saya pertama membaca essay ini untuk kuliah Sejarah Seni, dan saya teringatkan kembali akan betapa handalnya Sontag sebagai penulis – substansi memang terbilang berat, tapi ini diimbangi oleh gaya yang elegan dan mudah dicerna. Samar-samar saya masih ingat argumentasi Sontag, meskipun tidak rinci, dan saya ingat betapa relevannya point-point yang dikatakan Sontag untuk saya waktu itu.

Sekarang, saya merasa adanya pergeseran pada  pengertian saya tentang isi essay Sontag. Dulu sepertinya yang saya anggap paling  adalah gema relativisme yang saya kira saya tangkap dalam essay Sontag: bahwa pengertian akan karya seni itu relatif, dan ‘interpretasi’ dalam artian yang pasti dan kekal sudah tidak bisa diterapkan lagi. Terlebih saat mendengar filsuf sains Paul Feyerabend ("Against Method", 1975) mengatakan bahwa gagasan tentang adanya metode yang 'pasti' itu naif, dan pada dasarnya hanya ada satu prinsip yang bisa dipertahankan: "anything goes!" Pendek kata, semangat ‘pembebasan’ dari indoktrinasi yang mencirikan pemikiran postmodern – lewat dalih relativisme – yang saya yakin pernah memukau banyak mahasiswa yang kalau bukan seangkatan saya, masih dekat generasinya. 

Tapi sekarang ada hal lain dari essay ini yang menonjol bagi saya, terkait dengan kutipan diatas. Intinya kira-kira begini: berhadapan dengan sebuah karya seni, ‘menentang interpretasi’ adalah langkah penting untuk kembali ke ‘pengalaman’ akan karya tersebut, dan tentunya disini saya mengatakan ‘pengalaman’ dalam arti fenomenologis: ‘bertubuh’. 

Menurut Sontag, kesalahan utama pada teori-teori seni yang ada – Sontag menyebut mulai dari filsafat seni Plato tentang seni sebagai ‘imitasi dari imitasi’ hingga teori-teori modern yang terkenal seperti Marx dan Freud – adalah penekanan pada apa yang Sontag sebut dengan ‘content’ atau isi: “... content still comes first” (2). Sebagai akibat, karya kemudian dimengerti seakan-akan sebuah teks, dimana yang dimaksud dengan interpretasi sebernarnya adalah penterjemahan: “Sang interpreter mengatakan, Lihat, tidakkah anda bisa melihat bahwa X itu adalah – atau sebenarnya adalah – A? Bahwa Y adalah B? Bahwa Z adalah C?” (5). Sebenarnya pandangan seperti ini, yang menganggap bahwa karya seni adalah sesuatu yang bisa di’interpretasi’, mempunyai akar sejarah peradaban pada Pencerahan, ketika manusia sedang terpesona oleh kemampuannya untuk berlogika dan bernalar secara pasti dan ‘realistis’. Masalahnya, bagi Sontag, adalah interpretasi mengasumsikan adanya ketidaksesuaian atau kesenjangan antara pembaca dan suatu makna karya yang ‘jelas’, ‘otentik’, ‘paling benar’. Selain itu, 'interpretasi' juga mengasumsikan bahwa suatu kemampuan bernalar belaka mampu meluruskan kesenjangan itu (seakan-akan kesenjangan itu pada dasarnya ada).

Tak heran Sontag, di awal essay, sempat membayangkan karya-karya seni pertama sebagai sesuatu yang magis, magis karena tidak perlu dipertahankan oleh teori dan tafsir: andaikan kita dapat kembali ke suatu waktu, tulis Sontag, “ketika seseorang tidak menanyakan pada sebuah karya apa yang dibicarakannya, karena ia tahu (atau merasa tahu) apa yang dilakukan karya itu.” (4-5) Bahkan Sontag kemudian berkata bahwa “intepretasi itu memiskinkan... Karya seni sejati mempunyai kapasitas untuk membuat kita gelisah. Dengan menciutkan sebuah karya menjadi isinya dan kemudian menginterpretasikan itu, kita menjinakkan karya tersebut. Interpretasi membuat sebuah karya gampang diatur, gampang tunduk”. (8)

Diakhir essay, Sontag menuliskan frasa “an erotics of art”, tanpa penjelasan lebih lanjut. Lengkapnya, dia mengatakan “In place of a hermeneutics we need an erotics of art.” (14) Apa maksud Sontag dengan ini pernyataan ini? (Saya menganggap Sontag menunjuk pada hermeneutics dalam artian tradisional, yaitu sebuah ilmu yang secara khusus mempelajari bagaimana sebuah teks, misalnya teks kuno tentang agama atau sastra, dapat diinterpretasi, dan bukan metode filsafat hermenetik milik Heidegger atau Gadamer.) Disini, Sontag bukannya bermaksud bahwa karya seni – apapun jenisnya – benar-benar tidak bisa dikata-katakan, tidak bisa dideskripsikan (describe) atau dijelaskan kembali (paraphrase).  Tapi Sontag menanyakan, bagaimana cara kita melakukan itu sekarang? (Sekarang dalam artian tahun 1964, saat essay ini ditulis.) Dia menggagas ‘form’ dan ‘appearance’ (terjemahan harafiah: ‘bentuk’ dan ‘tampilan’) sebagai faktor-faktor paling mendasar untuk kritik seni, dan memberikan contoh-contoh kritisisme yang justru TIDAK membahas isi dan lebih mempertimbangkan bentuk dan tampilan.

Rumpun kata ‘erotics’ berhubungan dengan dewa cinta Yunani (Eros), dan ini membentuk pengertian modern kita tentang ‘erotics’ sebagai sesuatu yang merangsang suatu bentuk cinta yang unik: badaniah. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa erotisme itu hanya terbatas pada stimulan fisik; sama sekali tidak, karena ini menggampangkan kompleksitas fenomenon ini. Tapi tidak bisa tidak, salah besar apa bila kita menganggap bahwa erotisme adalah suatu peristiwa mental saja: mereka yang mengklaim pernah merasakan terangsang oleh cinta ilahiahpun – yang disangka bersifat spiritual – terlihat mengalaminya dengan tubuh mereka. Lihat patung Santa Teresa disini, dalam keadaan ekstasi rohani:


Ketika dia merasakan ujung tombak si malaikat menusuk hatinya, katanya: “The pain was so great, that it made me moan; and yet so surpassing was the sweetness of this excessive pain, that I could not wish to be rid of it. The soul is satisfied now with nothing less than God. The pain is not bodily, but spiritual; though the body has its share in it.” (Thanks wiki, huruf miring dari saya). Terlihat disini bahwa dalam erotisme religiuspun, tubuh tetap berperan.

“An erotics of art” yang Sontag sebut juga mengacu pada pengalaman indrawi atas karya seni, seperti yang dia jabarkan dengan ‘form’ dan ‘appearance’. Dengan menggarisbawahi pengalaman indrawi, Sontag berusaha menghindari interpretasi karena dua alasan: 1/ interpretasi dianggap sebagai proses mental saja, dan 2/ meskipun manusia tidak bisa mengelak dari interpretasi, interpretasi telah meng-institusi secara hierarkis dan menghasilkan kubu-kubu penilaian seperti ‘benar’ dan ‘salah.

Meski Sontag tidak mengatakan demikian, pernyataan-pernyataan yang dibuatnya menunjuk pada suatu kelangsungan (immediacy) antara karya – dalam wujud fisiknya – dan orang yang berada didepannya. Tapi yang disayangkan adalah langkah Sontag untuk ‘menentang’ interpretasi seluruhnya. Dia seakan melupakan bahwa manusia menginterpretasi keadaan sekelilingnya, bukan lewat nalar saja, tapi juga melalui tubuhnya: misalnya, jika suatu karya mempunyai ‘pesan’ apapun, ini tidak selalu saya tafsirkan lewat daya pikiran, tapi lewat apa yang saya bisa lihat, dengar, rasakan pada kulit, dan seterusnya, yang kemudian memancing berbagai imajinasi dan pengkhayalan lebih lanjut. Sontag memang benar dalam mengingatkan kita akan dominasi ‘isi’, ‘content’, ‘pesan’ dalam sebuah karya, tapi salah dalam meneruskan dualisme Cartesian antara fisik dan mental, tubuh dan batin.

Mungkin disini yang saya inginkan adalah semacam a return to materiality. Tapi, bukan dalam artian materialitas ‘dingin’ yang meninggalkan kompleksitas dan kedalaman rasa dan emosi, melainkan dalam bingkai ‘erotisme’ yang Sontag berikan. ‘Poetics’ atau ‘kepuitisan’ sering mempunyai predikat buruk sebagai sesuatu yang ornamental, muluk-muluk dan bersifat embel-embel. Padahal kalau kita mempertimbangkan istilah ini dalam artian kata Yunani Kuno poeisis –  suatu langkah ‘revealing’ atau ‘penyingkapan’ – maka istilah ini sudah tidak lagi bisa dianggap embel-embel saja, tapi menjadi sesuatu yang penting. Ketika ‘poetics’ dipahami dalam artian ‘penyingkapan’, berarti suatu karya mempunyai kekuatan untuk ‘menyingkapkan’ berbagai macam hal; bisa jadi hal yang telah terlupakan, yang tidak diketahui sebelumnya, dst. Agar fundamentalitas ‘poetics’ tidak lagi tersingkirkan, mungkin kita harus kembali pada materialitas karya itu sendiri, yang secara langsung melibatkan pengalaman 'bertubuh'.

No comments:

Post a Comment