Friday 23 December 2011

Wild Bodies



Satu terobosan ideologi yang menjadi karakteristik contemporary critical thinking sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu adalah apa yang disebut Ed Soja ‘the spatial turn’ (Lihat Thirdspace...) ‘Putaran’ ideologis kearah spasialitas terlihat dari ide tentang posisi: posisi seseorang di peta kebudayaan – berdasarkan koordinat ras, gender, generasi, geopolitik, dll – menjadi dasar klaim tentang identitasnya. ‘Siapa saya’ adalah pertanyaan yang bisa – harus, bahkan – dijawab menurut kategori budaya. Misalnya, pilihan saya untuk berbelanja di satu supermarket dan bukan yang lain, adalah tindakan yang harus dijelaskan menurut lokasi tempat tinggal, apakah saya perempuan atau laki-laki, segi ekonomi keluarga, dst.

Bahayanya, bagaimana kategori-kategori tadi terbentuk sering tidak dipertanyakan. Kategori budaya dianggap kategori yang langsung ada dengan adanya seorang manusia. Seorang bayi lahir dan langsung terjerat dalam jaringan kebudayaan. Menurut saya, ini mengasumsikan realita sosial dan budaya adalah faktor-faktor utama yang membentuk identitas seseorang.

The Syrian Gazelle Boy
Bagaimana dengan kasus feral children? Sebuah definisi umum yang saya dapat dari Google: “A feral child is a human child who has lived away from human contact from a very young age, and has little or no experience of human care, loving or social behavior, and, crucially, of human language.” Contohnya, kasus The Syrian Gazelle Boy, yang ditemukan oleh Jean-Claude Auger, seorang Antrolopolog dari Spanyol Utara tahun 1960. Dalam expedisinya ke Rio de Oro, dia berpapasan dengan penduduk nomaden yang menginformasikan tentang adanya seorang ‘anak liar’ yang akan tiba kira-kira 1 hari lagi. Besoknya, di kaki langit, Auger melihat seorang anak laki-laki yang telanjang “berlompatan dengan dahsyat diantara iringan gazelle putih”. Anak ini berjalan dengan tangan dan kaki, mengejangkan otot, hidung, telinga menanggapi suara sedikitpun seperti ‘kawan-kawan’nya, mengunyah akar dari gurun pasir dengan giginya, dan bila tidak ada tumbuhan, menyantap cacing atau cicak. Ada upaya gagal di tahun 1966 untuk menangkap anak ini, dan catatan menunjukkan bahwa setelah itu dia tidak pernah dipindahkan dari kawanan buas ini.
Apakah kita bisa mengatakan identitasnya terbentuk dari budaya kawanan binatang yang membesarkannya, suatu budaya yang kita mengerti menurut kategori budaya manusia? Misalnya, menganalisa kebinatangan menurut kategori politik adu kuasa, geopolitik, perspektif psikologis yang berbeda antara betina dan jantan? Tidakkah kategori budaya manusia tampak begitu reduktif? Pengertian bahwa kategori budaya membentuk identitas si subjek mempunyai keterbatas yang harus dipertanyakan. Fokus pada kategori budaya bermasalah karena ‘kebudayaan’ menjadi hadir seperti sebuah checklist, penuh dengan kategori-kategorinya, untuk dicentang saat kita menganalisa perilaku manusia. Checklist ini ada – dan jadi lebih penting – sebelum manusianya ada. Aneh, kan? Padahal ilmu humaniora harusnya terfokus pada manusianya lebih dulu.
Bagaimana memutar balikkan fokus lagi pada si manusia? Salah satu daya tarik - dan juga benih kegagalan - Cultural Studies adalah efektifitasnya sebagai ‘alat teoritis’ untuk mengkaji manusia dalam kelompok. Tapi selain bagian dari kelompok, manusia tetap seorang subjek (seperti anak diatas). Keberadaanya sebagai subjek – sarat dengan lapisan psikologis dan fisiologis – inilah yang kemudian, saat dia mengelompokkan dirinya, menjadi muatan identitas kebudayaan. Ini bukan permasalahan tentang siapa yang ada duluan – si subjek atau kelompoknya? Tapi merupakan permasalahan tentang pentingnya menyadari ‘hukum-hukum umum’ atau ‘esensi’ subjektifitas – yang datang dari interaksi dengan lingkungan sekitar – dan tidak hanya terfokus pada kategori budaya, dalam mencari tahu asal-muasal identitas manusia.


No comments:

Post a Comment